Makalah Etika Profesi Teknologi Informasi dan Komunikasi
KASUS CYBERCRIME
TUGAS UAS
Diajukan untuk mata kuliah Etika
Profesi Teknologi Informasi & Komunikasi pada Program Diploma Tiga (D.III)
NAMA:
1. MEIDA YONANDA 12165614
2. MUHAMAD HOKY SUMARDI 12165785
3. NAZZALA ALFA’INNA 12165646
4. PETRUS SITOMPUL 12165569
5. ROBIN P SIMARMATA 12165381
Program Studi
Sistem Informasi
Fakultas
Teknologi Informasi
Universitas Bina
Sarana Informatika
Jakarta
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan
perkembangan zaman, teknologi semakin berkembang juga. Perkembangan teknologi informasi
dari tahun ke tahun selalu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banyaknya
fasilitas kemudahan-kemudahan yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi
informasi secara langsung berdampak kepada kegiatan manusia.
Teknologi berdampak
baik apabila pengguna bisa menggunakannya dengan bijak dan benar. Sedangkan,
teknologi dapat berdampak buruk apabila pengguna tidak bisa menggunakan
teknologi dengan bijak dan benar. Ada beberapa kasus yang terjadi karena adanya
perkembangan teknologi. Dalam makalah ini kami membahas 3 kasus, yaitu kasus
carding, perdagangan bayi di media social, serta pencemaran nama baik di media
social.
Carding dan perdagangan
bayi dilakukan atas dasar faktor ekonomi, sedangkan kasus pencemaran nama
baik terjadi karena adanya sindir menyindir di sosial media, yang akhirnya secara tidak langsung menjadi kasus
pencemaran nama baik. Kasus pencemaran nama baik ini bisa dijerat dengan pasal
27 ayat 3 Undang-Undang ITE yang mengatur tentang penghinaan atau pencemaran
nama baik.
Saat ini, di Indonesia
sudah ada hukum yang mengatur tentang kejahatan yang terjadi di dunia maya
maupun internet. Jadi, bagi pengguna yang melakukan kejahatan cybercime dapat
dijerat dengan Undang-Undang ITE No. 11 Tahun 2008.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Cybercrime
Carding
Kasus cybercrime yang
pernah terjadi di Indonesia yaitu carding. Carding adalah berbelanja
menggunakan nomor dan identitas kartu kredit orang lain, yang diperoleh secara
illegal, biasanya mencuri data di internet. Sebutan untuk pelakunya adalah
carder. Sebutan lain untuk kejahatan jenis ini adalah cyberfroud alias penipuan
dunia maya. Menurut riset Clear Commerce Inc, perusahaan teknologi
informasi yang berbasis di Texas – AS , Indonesia memiliki carder terbanyak
kedua di dunia setelah Ukrania. Sebanyak 20 persen transaksi melalui internet
dari Indonesia adalah hasil carding. Akibatnya, banyak situs belanja online
yang memblokir IP atau internet protocol (alamat komputer internet) asal
Indonesia. Kalau kita belanja online, formulir pembelian online shop tidak
mencantumkan nama negara Indonesia. Artinya konsumen Indonesia tidak
diperbolehkan belanja di situs itu.
Kejahatan carding
mempunyai dua ruang lingkup, nasional dan transnasional. Secara nasional adalah pelaku carding
melakukannya dalam lingkup satu negara. Transnasional
adalah pelaku carding melakukkannya melewati batas negara. Berdasarkan
karakteristik perbedaan tersebut untuk penegakan hukumnya tidak bisa dilakukan
secara tradisional, sebaiknya dilakukan dengan menggunakan hukum tersendiri.
Sifat carding secara umum adalah non-violence,
kekacauan yang ditimbulkan tidak terlihat secara langsung, tapi dampak yang di
timbulkan bisa sangat besar. Karena carding merupakan salah satu dari kejahatan
cybercrime berdasarkan aktivitasnya.
Setelah lahirnya UU ITE, khusus
carding dapat dijerat dengan menggunakan pasal 30, 31, 32, dan 46 yang
membahas tentang hacking, karena dalam salah satu langkah untuk mendapatkan
nomor kartu kredit carder sering melakukan hacking ke situs-situs resmi lembaga
penyedia kartu kredit untuk menembus sistem pengamanannya dan mencuri
nomor-nomor kartu tersebut.
Isi Pasal 30 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
menyatakan bahwa :
1.
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
2.
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
3.
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Isi Pasal 31 ayat 1, 2, 3 dan 4 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
menyatakan bahwa :
1.
Setiap Orang
dengan sengaja dan
tanpa hak atau
melawan hukum melakukan intersepsi atau
penyadapan atas Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu
milik Orang lain.
2.
Setiap Orang
dengan sengaja dan
tanpa hak atau
melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan
di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang
lain, baik yang
tidak menyebabkan perubahan
apa pun maupun
yang menyebabkan adanya perubahan,
penghilangan, dan/atau penghentian
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang
ditransmisikan.
3.
Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan
dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum
lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
4.
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Isi Pasal 31 ayat 1, 2, 3 dan 4 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
menyatakan bahwa :
1.
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah,
menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik
Orang lain atau milik publik.
2.
Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan
atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem
Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
3.
Terhadap
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya
suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia
menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana
mestinya.
Menurut Pasal 46 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik menyatakan bahwa :
1.
Setiap Orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2.
Setiap Orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
3.
Setiap Orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Jadi,
sejauh ini kasus carding di Indonesia bisa diatasi dengan Undang-Undang yang
tercantum di atas. Penanggulangan kasus carding memerlukan regulasi yang khusus
mengatur tentang kejahatan carding agar kasus-kasus seperti ini bisa berkurang
dan bahkan tidak ada lagi. Tetapi selain regulasi khusus juga harus didukung
dengan pengamanan sistem baik software maupun hardware, guidelines untuk
pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer related crime dan dukungan
dari lembaga khusus.
2.2 Perdagangan
Bayi di Media Sosial
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dirumuskan bahwa
perdagangan orang (human trafficking) adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar
negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Eksploitasi terhadap orang ini memiliki bentuk yang beragam. Di Indonesia,
dikenal beberapa pekerjaan yang beresiko menjadi kasus human trafficking,
diantaranya buruh migran, pembantu rumah tangga, pekerja seks komersial,
pengantin pesanan dan kawin kontrak, termasuk beberapa bentuk perburuhan pada
anak.
Beberapa data mengungkapkan jumlah kasus human trafficking
di Indonesia yang semakin meningkat. Menurut data dari IOM hingga Desember 2014
tercatat 7.193 orang korban human trafficking yang
terindentifikasi. Jumlah tersebut
menempatkan Indonesia pada posisi pertama
human trafficking dengan jumlah korban 6.651 orang atau sekitar 92,46 persen dengan
rincian korban wanita usia anak sebanyak 950 orang, wanita usia dewasa sebanyak
4.888 orang, korban pria usia anak 166 orang, dan pria dewasa sebanyak 647
orang. Dari jumlah itu, 82% adalah perempuan yang bekerja di dalam dan di luar negeri
untuk eksploitasi tenaga kerja, sedangkan sisanya sebanyak 18 persen merupakan
lelaki yang mayoritas mengalami eksploitasi sebagai anak buah kapal (ABK)
pencari ikan atau buruh lainnya, termasuk
buruh perkebunan kelapa sawit di Kalimantan
Barat, Sumatera, Papua, dan Malaysia.
Data tersebut merupakan data dari kasus yang tercatat dan
terlaporkan. Sementara kasus human trafficking memiliki karakteristik yang
khas, yaitu banyak orang merasa tidak
‘berkasus’ atas kejadian yang menimpanya atau
menganggap bahwa problem yang mereka hadapi
tidak perlu diketahui banyak orang karena akan menimbulkan aib bagi keluarga.
Ibarat gunung es, secara angka jumlah kasus
human trafficking kemungkinan lebih banyak
dari yang sudah terlapor dan tercatat saat ini.
Human trafficking merupakan bentuk kejahatan yang paling
tidak disadari oleh korban. Modusnya seringkali bersembunyi di balik kondisi
kesulitan ekonomi dan finansial dengan menawarkan pekerjaan yang dibutuhkan dan
membuat korban tidak berkesempatan bersikap kritis terhadap pekerjaan yang
ditawarkan karena terdesak untuk hanya
berpikir tentang bagaimana melanjutkan hidup. Keadaan Indonesia yang belum baik
secara ekonomi membuat masyarakat memiliki orientasi yang tinggi pada kehidupan
finansial. Situasi ini mendorong masyarakat
terutama kalangan bawah untuk melakukan berbagai cara
agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Mereka amat beresiko
terperosok dalam kondisi sosial berupa
perdagangan manusia. Dorongan untuk hidup layak dengan cara apapun melemahkan
mereka secara psikis. Apalagi jika dialami oleh para remaja dan anak-anak,
bayangan tentang kehidupan yang mapan membuat mereka kurang mampu menyadari
bahaya di balik kasus human trafficking tersebut.
Kebanyakan korban human trafficking adalah perempuan dan
anak. Korban yang dimaksud dalam kasus human trafficking adalah seseorang yang
mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial
akibat tindak pidana perdagangan orang. Sementara yang dimaksud dengan anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
Menurut Yakushko beberapa di antara banyak faktor yang
menyebabkan kasus perdagangan manusia ini terjadi adalah kondisi kemiskinan,
kurangnya pengetahuan dan informasi tentang ancaman perdagangan manusia,
terjadinya konflik dan perang dalam suatu wilayah, serta praktek eksploitasi
dan penyelundupan manusia. Apabila dipandang dalam perspektif proses
faktor-faktor tersebut dapat menjadi dasar dalam merumuskan
adanya individu, keluarga, atau komunitas yang rentan (vurnerable) terhadap
ancaman perdagangan manusia.
Selain faktor umum seperti faktor ekonomi dan pendidikan, kekhawatiran masyarakat
terhadap adanya kemajuan teknologi terutama penggunaan gadget untuk mengakses
media sosial sebagai faktor penyebab human trafficking. Media sosial memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan remaja saat
ini. Di desa pun sekarang banyak anak sudah
mengerti penggunaan media sosial melalui handphone. Beberapa diantara mereka
secara paksa meminta handphone canggih
(smartphone) kepada orangtua, agar mampu menggunakan
alat komunikasi tersebut tidak sebatas untuk menelpon, namun juga untuk
mengakses internet/media sosial. Menurut perwakilan masyarakat, media sosial
dan kemajuan teknologi juga dapat berpengaruh menjerumuskan terutama remaja
sehingga menjadi korban human trafficking.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia menyatakan bahwa praktik penjualan anak, prostitusi anak dan
pornografi anak mulai merambah melalui media sosial dengan memanfaatkan
Facebook, Twitter dan media sosial lainnya. Kemajuan teknologi melalui
penetrasi internet di media sosial tidak bisa dihindari. Keberadaan media
sosial mempunyai dampak positif dan negatif. Untuk itu, Menteri mengingatkan
agar pemahaman terhadap penggunaan teknologi informasi yang semakin maju harus
diimbangi dengan pemahaman moral serta pendidikan yang baik agar terhindar
menjadi korban. Meskipun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak belum memiliki data akurat tentang besaran perdagangan anak melalui media
sosial namun dapat memprediksi bahwa angkanya lebih tinggi dibandingkan dengan
perdagangan anak secara konvensional. Perdagangan anak secara konvensional
dilakukan di daerah-daerah terpencil yang dari segi pendidikan dan ekonomi
masih belum cukup baik. Namun demikian perkembangan media sosial yang mulai
merambah desa-desa perlu diwaspadai.
Dalam kasus ini UU ITE dapat digunakan untuk membantu proses pidana
TPPO, dimana pengaturan jerat hukumnyasampai dengan pembuktian tetap mengacu
pada UU 21/2007. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 29 UU TPPO yang
menyebutkan alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam undang-undang hukum
acara pidana, dapat pula berupa :
a.
Informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu.
b.
Data, rekaman, atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, atau yang terekam secara
elektronik.
Pasal
5 ayat (1) dan (2) UU ITE menyatakan bahwa bukti elektronik sah menurut hukum,
pasal tersebut berbunyi:
a.
Informasi elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
b.
Informasi elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di
indonesia.
Pada praktiknya, penegak hukum juga menjadikan
handphone, bukti cetak pesan, informasi atau dokumen elektronik yang
berhubungan dengan TPPO sebagai alat bukti.
2.3 Pencemaran
Nama Baik di Media Sosial
Media sosial adalah media online (daring)
yang dimanfaatkan sebagai sarana pergaulan sosial secara online di internet. Di
media sosial, para penggunanya dapat saling berkomunikasi, berinteraksi,
berbagi networking, dan berbagai kegiatan lainnya.
Media sosial menggunakan teknologi
berbasis website atau aplikasi yang dapat mengubah suatu komunikasi kedalam
bentuk dialog interaktif. Beberapa contoh media sosial yang banyak digunakan
adalah youtube, facebook, twitter, dan lain-lain.
Di dalam akun sosial media semua orang berhak mengeluarkan
apa saja yang ada dalam pikirannya lalu meraka tuangkan dalam bentuk tulisan.
Sayangnya, kesadaran sebagian orang untuk menulis
atau mengungkapkan sesuatu secara bijak terkadang tidak ada, sehingga munculah
masalah akibat dari apa yang mereka posting, salah satunya masalah pencemaran
nama baik seseorang. Di mana masalah tersebut merupakan suatu bentuk kejahatan
di dunia maya (cyber crime). Kejahatan dunia maya yang dilakukan seseorang atau
sekelompok melalui sosial media atau jaringan internet lainnya dengan cara
membuat tulisan yang bersifat hinaan, hujatan ataupun SARA yang berakibat pihak
yang dituju merasa dijatuhkan nama baiknya.
Sejak tahun 2008, Indonesia telah mengatur hokum pencemaran
nama baik di dunia maya, yang tentunya temasuk jejaring sosial melalui UU Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 27
ayat (3) UU ITE menyebutkan: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Sehingga, jika ada orang yang melakukan perbuatan sengaja
menyebarkan info atau dokumen yang menghina seseorang, maka diancam pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun, serta denda maksimal satu miliar rupiah.
Hal ini sebagaimana ketentuan pada Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yang berbunyi :
"Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”
Ada banyak jejaring sosial yang gemar digunakan masyarakat
Indonesia dalam interaksi dengan sesama, seperti facebook, twitter, google +
dan program lainnya. Melihat ketentuan di atas, setidaknya ada tiga unsur yang
harus dicermati yaitu:
1.
Unsur kesengajaan dan
tanpa hak;
2.
Unsur mendistribusikan,
mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya Informasi dan/atau Dokumen Elektronik; dan
3.
Unsur memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Jika unsur-unsur tersebut terpenuhi
maka sang pengirim informasi dapat dijebloskan ke penjara.
Kurangnya pengetahuan atau pemahaman masyarakat Indonesia
tentang peraturan tersebut membuat masih banyaknya orang yang secara bebas
mengungkapkan segala hal di sosial media mereka, sehingga beberapa dari mereka
terjerat hukuman dari apa yang sudah mereka perbuat.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
3.1
Cybercrime Carding
Kasus carding yang pernah ada di Indonesia terjadi di Malang.
Kasus ini terungkap pada Maret 2018 yang dilakukan oleh 3 orang warga local,
yaitu IIR (27) asal Jl. Danur Wenda Sekarpuro, Pakis, Malang, HKD (36) asal
Margomulyo, Balen, Bojonegoro dan ZU (30) asal Surabaya. Mereka
bertiga beraksi sejak tahun 2016.
Motif para pelaku yaitu masuk dengan menggunakan akun palsu
pada Apple dan paypal. Lalu pelaku mencuri data nomor kredit dan tanggal
expired melalui internet. Setelah mendapatkan nomor kartu kredit, pelaku IIR
dan ZU berbelanja online di situs ebay.com. Mereka melakukan transaksi
pembelian diantaranya laptop, smartphone, dan lain-lain. Kemudian oleh keduanya
dijual lagi ke pelaku HKD yang merupakan penadah. Mereka bertiga tergabung
dalam komunitas hacker di Facebook yang diberi nama “Kolam Tuyul”.
Salah satu penyebab pelaku melakukan kejahatan carding adalah
faktor ekonomi. Biaya kebutuhan hidup yang meningkat tapi pemasukan yang
sedikit menjadi masalah utama para pelaku carding. Ketiga pelaku menggunakan
hasil penjualan barang itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Penanggulangan dari kasus tersebut adalah pelaku dikenakan
pasal berlapis yaitu pasal 30 ayat (2) dan atau pasal 32 ayat (1) UU RI No.19
tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU RI No.1 tahun 2008 tentang ITE, serta
pasal 46 ayat (2) UU RI No.19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU RI No.1
tahun 2008 tentang ITE. Jadi, ketiga pelaku terancam penjara maksimal 7 tahun
dan denda maksimal 700 juta rupiah.
3.2
Perdagangan Bayi di Media Sosial
Kasus cybercrime lain yang
pernah terjadi di Indonesia adalah perdagangan bayi atau anak. Perdagangan anak
melalui media sosial terjadi di Surabaya telah terungkap pada Oktober 20118.
Kepolisian melakukan penyelidikan yang telah mengungkap praktik perdagangan
anak via media sosial.
Mereka menjual anak
berkedok sebagai yayasan peduli anak. Ada empat pelaku yang diamankan. Keempat
pelaku adalah Alton Phinandita, warga Sawunggaling Sidoarjo; ibu yang menjual
bayinya yakni LA atau Ica (22), warga Bulak Rukem Surabaya; bidan nonaktif Ni
Ketut Sukawati (66) warga Badung, Bali; dan pembeli bayi, Ni Nyoman Sirait
(36), warga Badung Bali.
Dalam akun instagram
tersebut, Alton menawarkan jasa konsultasi dan memberi solusi. Misalnya saja
terkait permasalahan anak yang lahir di luar nikah hingga pasangan yang ingin
menggugurkan kandungannya. Alton memiliki solusi kepada korban untuk tak
menggugurkan kandungan, karena banyak yang berminat.
Dari akun tersebut akhirnya ada peminat yang mau mengadopsi anak dan transaksi dilanjutkan melalui WhatsApp.
Dari akun tersebut akhirnya ada peminat yang mau mengadopsi anak dan transaksi dilanjutkan melalui WhatsApp.
Untuk meyakinkan pembeli,
pelaku memposting foto testimoni yang dibuatnya secara fiktif. Akun Alton ini
memiliki 600 pengikut. Dari ratusan pengikut, beberapa di antaranya adalah penjual
bayi sekaligus pembelinya.
Modus yang dilakukan
melalui akun instagram yang mengajak orang-orang agar tidak menggugurkan
kandungannya atau anak di luar nikah. Bahkan, anak-anak yang terlantar, bisa
diserahkan ke pelaku untuk dicarikan orang tua asuh. “Dari pengembangan, kami mengamankan empat
pelaku. Satu pemilik akun, lalu penjual bayi atau ibunya, terus ada bidan yang
terlibat sebagai perantara antara pembeli, dan satu orang pembeli.”
Kasus ini sudah
berlangsung selama 3 bulan. Tercatat, ada empat bayi yang dijual oleh pelaku.
Tak hanya dijual di Surabaya, pelaku juga kerap menerima adopter di wilayah lain
seperti Semarang dan Bali. Dari empat bayi yang sudah dijual, polisi hanya bisa
mengamankan satu bayi laki-laki berusia 11 bulan yang dijual ke Bali, pada awal
September 2018.
Proses adopsi ini masuk
dalam tindak pidana lantaran prosesnya tak melalui jalur hukum. Seharusnya
pengadopsian anak harus ditempuh melalui pengadilan. Tak hanya itu, transaksi
ini juga melibatkan sejumlah uang. Selain itu,
harga bayi yang dijual juga ada yang
mencapai Rp 22 juta. Hasil itu dibagi secara rata oleh pelaku. Misalnya
pengelola mendapatkan komisi sebesar Rp 2,5 juta. Kemudian ibu pemilik bayi
mendapatkan Rp 15 juta, dan bidan yang bertugas sebagai perantara antar pembeli
sebesar Rp 5 juta.
Pada akun instagramnya,
pelaku mencantumkan nomor WhatsApp. Jadi proses transaksi terjadi di WA. Orang
yang minat mau menjual atau membeli langsung menghubungi pelaku. Kalau sudah
deal, pembeli akan membayarnya. Kalau foto-foto di instagram ini pelaku ambil
gambar-gambar biasa, supaya tertarik masyarakat dan percaya dengan pelaku.
Pelaku melakukan penjualan
bayi dengan beralaskan faktor ekonomi yang tidak cukup untuk kehidupan
sehari-hari. Penanggulangan yang dilakukan oleh pihak kepolisian yaitu penahanan
terhadap keempat pelaku dan penutupan akun media sosial yang digunakan untuk
penjualan bayi.
Keempat tersangka terancam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara
dan UU No. 18 Tahun 2008 telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2016.
Undang-undang yang disahkan pada Oktober 2016, mengenai pemblokiran terhadap
situs-situs tertentu.
3.3
Pencemaran Nama Baik di Media Sosial
Contoh kasus pencemaran nama baik yang dilakukan melalui
media sosial adalah kasus Audrey Balqis, seorang siswi SMP di Pontianak, yang pada April lalu menjadi viral karena pengakuannya yang
membuat orang mengasihaninya. Pengakuan tersebut adalah Audrey mengaku sebagai
korban bullying yang dikeroyok oleh 12 orang siswi SMA dan melaporkan kasus pengeroyokan tersebut. Namun, setelah dilakukan
penyelidikan lebih lanjut, pengakuan Audrey dengan para pelaku berbanding
terbalik.
Pengakuan
dari pelaku pengeroyokan adalah karena korban (Audrey) sering menyindir tentang
ibu pelaku yang pernah meminjam uang sebesar Rp. 500.000,- kepada orang tua
korban, yang notabene ibu pelaku tersebut sudah meninggal dunia dan ternyata
ibu dari pelaku juga sudah membayar hutang tersebut. Sehingga pelaku tersinggung karena
merasa almarhumah ibunya dilecehkan atau dicemarkan nama baiknya. Jadi, penyebab awal dari kasus ini adalah adanya saling sindir di media sosial.
Berikut adalah
beberapa cara penanggulangan supaya kita tidak terjerat oleh kasus yang serupa,
antara lain:
1.
Cerdas bermedia sosial
Media sosial
harusnya bisa digunakan dengan bijak, seperti digunakan sebagai alat komunikasi
dan tempat untuk menyebarkan informasi yang bermanfaat. Tidak masalah dengan
adanya jualan melalui media sosial, karena itu
membuka peluang bisnis yang baru dan bagus untuk perkembangan ekonomi.
Yang harus dilakukan dalam berjualan online adalah jujur tidak membohongi
pembelinya, dan menjalankan etika-etika berbisnis yang baik dan benar.
2.
Tidak asal sebar berita palsu (hoax)
Dalam menyebarkan informasi di media sosial, kita harus mencermatinya terlebih
dahulu apakah itu berita yang terbukti atau hanya berita palsu saja (hoax).
3.
Pikir dulu sebelum memposting atau berpendapat di media
sosial
Sebelum
berpendapat di media sosial, seharusnya kita berpikir terlebih dahulu, apakah
yang kita ungkapkan ini dapat merugikan seseorang, menyinggung, bahkan
melecehan seseorang atau tidak. Karena sekarang ini sudah berlaku undang-undang
ITE, kita harus berhati-hati dalam bermedia sosial.
4.
Mengetahui Peraturan di
UU ITE
Ø MELANGGAR KESUSILAAN
Pasal 27 ayat 1:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
Ø PERJUDIAN
Pasal 27 ayat 2:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Ø PENGHINAAN/PENCEMARAN NAMA BAIK
Pasal 27 ayat 3:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”
Ø PEMERASAN/PENGANCAMAN
Pasal 27 ayat 4:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”
Ø MENYEBARKAN BERITA BOHONG/HOAX
Pasal 28 ayat 1:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).”
Ø SARA
Pasal 28 ayat 2:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Indonesia telah memiliki landasan
hukum khusus yang mengatur tentang cybercrime, yaitu Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Jadi
kita sebagai pengguna harus berhati-hati dan bijak dalam memanfaatkan teknologi
yang ada.
4.2 Saran
Kita sebagai pengguna teknologi harus bijak dan baik dalam
mengggunakan teknologi informasi. Jangan menyebarkan berita palsu, mencemarkan
nama baik, dan sebagainya yang belum terbukti kebenarannya. Karena sudah ada hukum yang
mengatur dan siap menghukum bila ada yang merasa
tersinggung atas perlakuan atau ucapan kita di dunia maya.
Komentar
Posting Komentar